Senin, 21 Desember 2009

Merayakan Tahun Baru Dengan Merancang Tujuan Hidup


Beberapa hari lalu kita memperingati Tahun Baru Islam 1431 H, tentunya tak seorangpun umat muslim yang tak menginginkan tahun yang akan dilalui tanpa meraih kesuksesan. Terlebih lagi, Rasulullah SAW pernah menuturkan pesan penting untuk para pengikutnya, “manusialah yang paling mengerti masalah keduniannya”. Artinya, kanjeng Rasul SAW yang diamini sebagai wakil Allah di bumi ternyata juga menghargai personalitas, di mana ada wilayah pribadi yang tak bisa beliau arahkan sepenuhnya. Semuanya tergantung pada individu masing-masing. Kendatipun beliau sudah memberi arah dan penjelasan memadai mengenai hidup dan kehidupan di dunia ini.

Boleh dibilang, kehidupan seseorang merupakan anugerah Allah SWT yang sifatnya pribadi, yang memiliki wilayahnya sendiri dan juga kekhasannya sendiri. Apalagi, tak ada pengalaman hidup atau kehidupan yang sama antar manusia. Meskipun manusia tampak berjamaah, berorganisasi, bersosialisasi, bekerjasama, dan sebagainya. Nasib dan kehidupannnya tetaplah ‘didesaign’ sang Maha Kuasa yang sifatnya individual.

Adalah buku yang diklaim oleh penulisnya, Jamil Azzaini, sebagai workbook (buku kerja) ini memberi sebuah skema menarik bagi pembaca bagaimana seseorang harusnya mendesaign atau merancang hidup yang kelak ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Caranya, dengan membuat proposal hidup. Menurut Jamil, demikian ia akrab dipanggil oleh teman-temannya, jika menghadapi sebuah acara satu-dua hari, baik berupa pertemuan, seminar atau peringatan hari kemerdekaan saja seseorang memerlukan proposal kegiatan, mengapa seseorang yang akan menghadapi kehidupan yang panjang tak membuat proposal? Inilah yang mendasari Jamil menggagas buku ini sesuai dengan motto hidupnya “Sukses Mulia”.

Tak hanya itu, proposal hidup yang diajarkan Jamil juga menjelajahi dan menyentuh dimensi syukur, karena tujuan perencanaan hidup tak lain adalah mengisi kehidupan dengan kebaikan yang nantinya meningkatkan martabat kemanusiaan pemiliknya. Memang, pencapaian atau hasil sejatinya milik Allah SWT. Tapi, dengan merencanakan dan berusaha mewujudkan tujuan-tujuan hidup kita telah menjadi hamba yang tahu berterimakasih pada Tuhan yang telah menciptakan.

Di antara arahan workbook yang diajarkan Jamil dalam buku ini, pembaca diminta untuk mengisi kolom kegiatan yang disukai, kolom kegiatan yang dicintai dan kolom kegiatan yang menghasilkan. Tampak jelas arahan-arahan yang ditransfer Jamil mengkader pembaca untuk menjadi orang yang sukes mulia. Sukses dalam merencanakan dan mulia dengan selalu mengingat bahwa apa yang dihasilkan saat ini tak luput dari keizinan dan kehendak Tuhan.

Yakinlah dengan memiliki, mengikuti dan mempraktekkan lembaran-lembaran arahan yang diajarkan Jamil dalam buku ini Anda sudah bisa menjelajahi ke mana dan bagaimana kehidupan beberapa tahun ke depan. Sehingga buku ini, jika boleh diklaim, wajib dibaca setiap muslim yang ingin meraih kesuksesan dan kemulian, baik dunia maupun akhirat. Selamat membaca dan mempraktekkan workbook dibawah arahan Jamil Azzaini, sang motivator “Sukses Mulia”.

Judul : Tuhan, Inilah Proposal Hidupku…

Penulis : Jamil Azzaini

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : II, Mei 2009

Tebal : ix + 99 halaman

Rahmat Hidayat Nasution, Resentator Tabloid Indonesia Monitor dan Pengurus Divisi IT Lembaga Baca Tulis (eLBeTe) SUMUT. Blog://menikmati-resensi.blogspot.com

Senin, 14 Desember 2009

Sang Kurban: Ismā‘Êl atau IsÍāq?


(Respon terhadap Abd Moqsith Ghazali, Yahudi dan Kristen)

Oleh: H. Qosim Nurseha Dzulhadi Lc

Masalah kurban “anak tunggal (sulung) Ibrahim” merupakan satu tema yang tidak memiliki titik temu hingga hari ini. Umat Islam mengklaim bahwa anak Ibrahim yang dijadikan kurban adalah Ismai‘il, sementara umatYahudi-Kristen mengklaim sebaliknya, Ishak.

Menyangkut masalah kurban ini, Abd Moqsith Ghazali menulis sebuah artikel berjudul “Ismail atau Ishak”? (www.islamlib.com, 6/01/2006). Hemat penulis, artikel ini sangat problematis dan perlu dikritisi lebih lanjut. Dan, meskipun tulisan ini diilhami oleh tulisan Abd Moqsith di atas, namun penulis ingin memberikan respon juga kepada klaim kaum Yahudi dan Kristen. Karena apa yang ditulis oleh Moqsith sejatinya pendapat dan klaim mereka.

Dalam artikelnya, Moqsith menyatakan bahwa ada dua pendapat seputar kisah pengorbanan ini. Pertama, menyatakanIsma`il, dan kedua, pendapat yang menyatakan Ishāq yang menjadi “kurban”. Pendapat kedua inilah yang dipilih olehnya. Ia menyatakan:

“Sementara yang lain berpendapat bahwa anak yang diminta untuk disembelih, tidak lain, adalahIshak bin Ibrahim. Pendapat ini diikuti oleh sejumlahsahabat dan tabiin. Dari kalangan sahabat tercatatnama-nama seperti Abdullah ibn Abbas, Abdullah binMas’ud, Umar bin Khaththab, Jabir, Abdullah bin Umar,dan Ali bin Abi Thalib. Dari kalangan tabi’in yangberpendapat demikian di antaranya, Alqamah, Sya’biy,Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ka’ab al-Ahbar, Qatadah,Masruq, Ikrimah, Qasim bin Abi Bazzah, Atha`,Abdurrahman bin Sabith, al-Zuhry, al-Sadiy, Abdullahbin Abi al-Hudzail, dan Malik bin Anas. Pendapat inibukan hanya didasarkan pada hadits, tapi juga asumsikesejarahan. Kelompok kedua ini mengakui bahwa tandukdomba yang disembelih itu digantung di Ka’bah,tapi–menurut mereka–itu dibawa Ibrahim dari negeriKan’an, tempat tingal Ishak. Kemudian dia menyimpulkandari pendapat kedua ini: “Sayangngnya, sekalipunpendapat kedua ini memiliki argumentasi yang kuat, tetap saja ia kalah populer dengan pendapat pertama.Jangan-jangan, pendapat yang kedua ini tertolak hanyakarena ia didukung atau (malah) merujuk padaPerjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama disebutbahwa Ishak lah yang akan dikurbankan, dan bukanIsmail. Tuhan berfirman kepada Ibrahim, “Ambillahanakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakniIshak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah diadi sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunungyang akan Kukatakan kepadamu” (Kejadian, 22: 2]. Padasumber inilah, seluruh umat Yahudi dan Nashranimengacu, sehingga tak terlalu tampak perselisihanpendapat di antara mereka. Memang, banyak redaksi Hadits yang tampaknyabertentangan dalam masalah ini. Namun, bukan berartiini merupakan ‘ketidakjelasan’ yang berasal dariRasul. Sehingga Moqsith menyimpulkan, “Anehnya, haditsyang menjelaskan hal ini pun cukup beragam. Suatuwaktu Nabi menyebut Ismail. Kala yang lain berkataIshaq. Pada hemat saya, ini merupakan bukti betapatidak mudahnya melakukan verifikasi terhadap sejumlahperistiwa yang terjadi pada zaman lampau. Sejumlahkisah yang disajikan Alquran tak sepenuhnya bisa dan boleh di cek secara ilmiah, menyangkut akurasi danvaliditas datanya. Sebab, terlalu banyak orang yangberkeberatan jika Alquran diperlakukan secara demikian.”

Hemat penulis, yang aneh justru statemen Moqsith. Karena dia melihat keanehan pendapat tentang siapa yang menjadi kurban (Arab: al-dzabih), namun tidak disikapi secara kritis dan logis. Dan menyangkut “keanehan teks Bible (insya Allah akan dijelaskan dalam tulisan ini) diterima begitu saja. Statemen semacam ini, selain tidak berdasar juga terkesan tendensius. Dan penulis berasumsi bahwa Moqsith menulis arikelnya kemungkinan didasarkan pada dua hal: Pertama, pura-pura “tidak mengerti” sejarah kurban (al-dzabih) ini. Atau, Kedua, ingin menciptakan problem baru dalam Islam.

Statement Aneh!

Adalah aneh, sebagai seorang Muslim, Moqsith masih meragukan siapa sebenarnya yang disembelih, Ismā‘Êl atau IsÍāq? Sehingga menyatakan bahwa tak semua kisah dalam Al-Qur’ān dapat dan boleh dicek secara ilmiah. Penulis katakana “aneh”, karena kisah-kisah dalam Al-Qur’ān merupakan salah satu bentuk i‘jāz Qur’āni yang menyatakan bahwa ia benar-benar dari Allah. Dan statement yang menyatakan bahwa “tidak semua” kisah dalam Al-Qur’ān dapat dicek secara ilmiah, menyangkut akurasi dan validitasdatanya, sama dengan menyatakan kisah Al-Qur’ān (dengan) tidak benar.

Perlu digarisbawahi bahwa inti dari kisah-kisah Al-Qur’ān adalah untuk memberikan “`ibrah”. Sehingga setiap pembacanya mampu mengambil pelajaran (i‘tibār). Tentu saja berbeda dengan kisah-kisah Bible (baik perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB), dimana Allah dikesankan “seolah-olah manusia”, digambarkan semuanya secara manusiawi. Semua ceritanya dijelakan secara detail. Tentu ini sangat berbeda dengan Al-Qur’ān yang tidak perlu menyebutkan siapa “nama anak yang memiliki sapi” yang disembelih oleh Musa, misalnya.

Tetapi, bukan berarti itu tidak terjadi. Menyangkut masala “kurban Ibrahim”, Moqsith juga tidak memberikan analisis yang baik dan jujur serta adil. Sehingga terkesan tidak serius, terlalu cepat menyimpulkan dan menyalahkan. Pendapat kedua, yang menurut Moqsith terkalahkan alias kalah populer, karena memiliki dukungan dari PL sangat tidak benar. Padahal, Al-Qur’ān dan PL menyatakan bahwa “Ismā‘Êl”-lah yang benar-benar disembelih, bukan IsÍāq. Mari kita simak dan kita cermati ayat Bible berikut ini.

Al-Qur’ān versus Bible

Mengenai IsÍāq sebagai “Anak Tunggal” Ibrahim Dalam PL disebutkan:

“Bawalah anakmu yang tunggal yang engkau cintai itu: Ishak, dan pergilah ke tanah Moria. Maka naiklah ke sebuah gunung yang akan Aku tunjukkankepadamu, dan persembahkanlah anakmu sebagai kurbanbakaran untuk-Ku.”[1]

Sementara di dalam Al-Qur’ān disebutkan:

“Dan Ibrahim berkata:“Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka, tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikian Kami memberi balasan kepada orang-orang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang amat besar.”[2]

Dari kedua teks Kitab Suci (Yahudi-Kristen dan Islam) ini, tampak perbedaan yang amat mencolok. Dalam PL disebutkan bahwa yang akan dikurbankan adalah IsÍāq, sementara di dalam Al-Qur’ān hanya disebutkan sebagai anak yang “amat sabar”. Para ulama (mufassir) sepakat bahwa anak yang “amat sabar” itu adalah Ismā‘Êl, bukan IsÍāq. Lalu manakah yang benar?

Salah seorang mufassir yang menyatakan bahwa yang menjadi kurban itu Ishaq, adalah Imām al-Qurtubi dalam al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān. Ini pula pendapat yang diambil oleh Moqsith berdasarkan pendapat beberapa orang Sahabat dan Tābi‘in seperti tersebut dalam tulisannya.

Sejatinya, pendapat yang menyatakan bahwa yang menjadi kurban IsÍāq, adalah bertentangan dengan konteks kisah yang diceritakan oleh Al-Qur’ān di atas. Setelah diceritakan kisah “anak yang amat sabar”, ayat selanjutnya menyatakan:

“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.”[3]

Jika diperhatikan secara cermat dan kritis, maka tidak akan salah bahwa Ishaq dilahirkan setelah Ismāil. Dan “anak tunggal” yang disebutkan dalam PL adalah Ismā‘Êl, bukan IsÍāq. Jika sejak awal Ibrahim telah dikaruniai Ishāq, maka tidak ada gunanya dia mengambil Hagar (Hajar) sebagai istrinya. Justru karena Sarah (Sarai) mandul, maka Ibrahim menjadikan budak perempuannya (Hagar) sebagai istrinya, atas usul Sarai.[4]

Jika demikian, maka riwayat penyembelihan yang benar adalah dalam Al-Qur’ān, bukan PL. Karena di dalam PL disebutkan “anak tunggal” Ibrahim (PL Arab: ibnaka wahidaka). Maka tidak ada yang lain, bahwa anak tunggal itu adalah Ismāil. Ketika Ismā‘il dilahirkan, Ibrahim telah berusia 86 tahun.[5] Dan ketika IsÍāq lahir, usia Ibrahim sudah 100 tahun.[6] Jadi, jarak antara Ismā‘Êl dan IsÍāq adalah 14 tahun. Bagaimana mungkin umat Yahudi dan Kristen “mengklaim” bahwa “anak tunggal” Ibrahim adalah Ishāq?!

Dari sini saja sudah tampak kontradiksi yang sangat nyata. Logika seperti ini adalah logika sederhana sebenarnya. Tapi karena ada faktor ingin mempersulit, sehingga hasilnya membingungkan. Tentang analisis teks ini, kita akan membahasnya di bagian akhir tulisan.

Lalu bagaimana riwayat-riwayat yang terdapat di dalam buku-buku tafsir yang menyatakan bahwa IsÍāq sebagai kurban? Benar, bahwa banyak kalangan mufassirun meriwayatkan Ishāq sebagai kurban, seperti Ibn Jarir al-Tabari, al-Baghawi dan al-Suyuti. Di dalam tafsir-tafsir tersebut disebutkan riwayat-riwayat dari sebagian Sahabat dan Tabi‘in dan Ka‘b al-Ahbār.[7]

Moqsith juga menyebutkan beberapa nama Sahabat: ‘Abd Allāh ibn ‘Abbās, ‘Abd Allāh ibn Mas‘Ëd, ‘Umar ibn KhaÏÏāb, Jābir, ‘Abd Allāh ibn ‘Umar, dan ‘AlÊ ibn AbÊ Ùālib. Dan dari kalanganTābi‘Ên: ‘Alqamah, Sya‘bÊ, Mujāhid, Sa‘Êd ibn Jubair, Ka‘b al-AÍbār, Qatādah, MasrËq, ‘Ikrimah, Qāsim bin AbÊ Bazzah, ‘AÏā‘, ‘Abd al-RaÍmāan ibn SābiÏ, al-ZuhrÊ, al-SuddÊ, ‘Abd Allāh ibn AbÊ al-Hudzail, dan Mālik ibn Anas.

Sayangnya, tanpa melakukan taÍqÊq (verifikasi), Moqsith langsung menyimpulkan ini adalah pendapat yang benar, namun tetap “kalah suara”, karena didukung oleh ayat PL di atas. Padahal, ayat PL di atas telah batal sejak awal, jika diteliti dengan cermat. Yang disebutkan oleh Moqsith adalah satu riwayat dari Ibn ‘Abbās. Riwayat yang benar tidak disebutkan oleh Moqsith.

Ibn KatsÊr dalam bukunya yang terkenal, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, menyebutkan satu riwayat dari Ibn ‘Abbās ini. Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Abbās, ‘AlÊ, Ibn Mas‘Ëd, MasrËq, ‘Ikrimah, Sa‘Êd ibn Jubair, Mujāhid,‘AÏā’, al-Sya‘bÊ, Muqātil, ‘Ubaid ibn ‘Umar, AbË Maisarah, Zaid ibn Aslam, ‘Abd Allāh ibn SyaqÊq, al-ZuhrÊ, Qāsim ibn AbÊ Burdah, MakÍËl, ‘Utsmān ibn HaÌir, al-SuddÊ, ×asan, Qatādah, AbË al-Hudzail dan Ibn SābiÏ. Ini merupakan pilihan dari Ibn JarÊr dan merupakan dari sikap ketakjubannya.

Riwayat di atas, menurut Ibn KatsÊr, merupakan satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari Ibn ‘Abbās, tapi yang benar dari riwayatnya dan riwayat kebanyakan dari mereka menyatakan: Ismā‘Êl a.s. Mujāhid, Sa‘Êd al-Sya‘bÊ, YËsuf ibn Mihrān, ‘AÏā’ dan yang lainnya dari Ibn ‘Abbās berkata:

Huwa Ismā‘Êl ‘alaihissalām (Dia adalah Ismā‘Êl). Ibn JarÊr berkata: “Yunus menceritakan kepadaku, Ibn Wahb mengabarkan kepada kami, ‘AmrË ibn Qais mengabarkan kepadaku dari ‘AÏā’ ibn AbÊ RabāÍ, dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: “al-Mufaddā Ismā‘Êl (yang ditebus adalah Isma‘il), danYahudi mengklaim dia adalah IsÍāq, Yahudi telah berdusta.”

Begitu juga dengan ‘Abd Allāh anak Imām AÍmad dari bapaknya, dia berkata: “Huwa Ismā‘il” (dia adalah Ismā‘Êl). Ibn AbÊ ×ātim juga menyatakan: “Aku bertanya kepada bapakku tentang siapa yang jadi kurban? Ia menjawab: “al-ØaÍÊÍ annahË Ismā‘Êl ‘alaihissalām” (Yang benar adalah Ismā‘Êl a.s.). Ibn AbÊ ×ātim berkata: “Diriwayatkan dari ‘AlÊ, Ibn ‘Umar, AbË Hurairah, AbË al-Ùufail, Sa‘Êd ibn al-Musayyab, Sa‘Êd ibn Jubair, ×asan, Mujāhid, al-Sya‘bÊ, Mujāhid ibn Ka‘b, AbË Ja‘far MuÍammad ibn ‘AlÊ dan AbË ØāliÍ, mereka berkata: ‘al-dzabÊÍ huwa Ismā‘Êl’ (Yang menjadi kurban adalah Ismā‘Êl).[8]

Jika demikian, maka Moqsith tidak jujur dalam pengutipan riwayat. Secara ilmiah, ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Dr. AbË Syuhbah, riwayat-riwayat di atas (dari Sahabat dan Tābi‘Ên) yang disebutkan di atas, bukan hanya sampai pada Sahabat dan Tābi‘Ên (mawqËf), tapi juga mereka me-marfË‘-kan secara zËr (dusta) kepada Nabi MuÍammad s.a.w. Seolah-oleh riwayat-riwat tersebut ÎaÍÊÍ. Padahal tidak demikian, sebagaimana akan kita lihat dalam tulisan ini.

Ibn JarÊr meriwayat dari Ubay ibn Ka‘b, dari Zaid ibn Habāb, dari al-×asan ibn DÊnār, dari ‘AlÊ ibn Zaid ibn Jad‘ān, dari al-×asan, dari al-AÍnāf ibn Qais, dari ‘Abbās ibn ‘Abd al-MuÏÏalib, dari Nabi s.a.w. beliau berkata: “al-DzabÊÍ IsÍāq” (Yang disembelih itu IsÍāq). Ini adalah ×adÊts lemah dan bāÏil (dha‘Êf sāqiÏ) tidak benar untuk dijadikan sebagai Íujjah (dalil). Al-×asan ibn DÊnār adalah matrËk (tidakdiambil/ditinggalkan riwayatnya), dan syeikhnya (gurunya), ‘AlÊ ibn Zaid ibn Jad‘ān adalah pengingkar ×adÊits (munkir al-ÍadÊts).

Dan al-DailamÊ mengeluarkan satu ×adÊts di dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad-nya dari AbË Sa‘Êd al-KhudrÊ, ia berkata: “Rasulullah s.a.w. bersabda:

Inna DāwËd sa’ala rabbahu mas’alatan, faqāla: Ij‘alnÊ mitsla IbrāhÊm wa IsÍāqa wa Ya‘qËba. Fa’awÍā Allāhu ilayhi: “InnÊ ibtalaytu IbrāhÊma bi al-nāri faÎabara, wa -ibtalaytu IsÍāqa bi al-dzibÍi faÎabara, wa ibtalaytu Ya‘qËba faÎabara.”

(Sesungguhnya Dawud mengajukan satu permintaan kepada Tuhannya dan berkata: ‘Jadikanlah aku seperti Ibrahim, IsÍāq dan Ya‘qËb. Maka Allah mewahyukan kepadanya: ‘Sesusungguhnya Aku telah menguji Ibrahim dengan api, lalu ia bersabar, Aku menguji IsÍāq dengan “penyembelihan”, lalu ia bersabar, dan Aku menguji Ya‘qËb, lalu ia bersabar).

Juga ×adÊts yang dikeluarkan oleh al-DāruquÏnÊ dan al-DailamÊ –di dalam Musnad al-Firdaus —dengan sanad mereka (berdua) dari Ibn Mas‘Ëd, ia berkata: “Rasulullah s.a.w. bersabda: al-DzabÊÍ IsÍāq (Yang disembelih adalah IsÍāq). Ini merupakan ×adÊts-ÍadÊits yang tidak benar dan tidak tsābit (tidak valid). ×adÊts-ÍadÊts al-DailamÊ di dalam Musnad al-Firdaus derajatnya dikenal (ma‘rËf), dan al-DāruquÏnÊ mungkin mengeluarkan di dalam ¬ Sunan-nya berupa ×adÊts palsu (mawÌË‘).

Dan al-ÙabrānÊ di dalam al-Mu‘jam al-AwsaÏ mengeluarkan ×adÊts dan Ibn AbÊ ×ātim di dalam tafsirnya lewat jalur WalÊd ibn Muslim, dari ‘Abd al-RaÍmāan ibn Zaid ibn Aslam, dari bapaknya, dari ‘AÏā’ ibn Yasar, dari AbË Hurairah, ia berkata:

“Rasulullah SAW bersabda: “Inna’-Allāha –ta‘ālā—khayyaranÊ bayna an yaghfira liniÎfi ummatÊ aw syafā‘atÊ, fa’-khtartu syafā‘atÊ, warajawtu an takËna a‘amma li’ummatÊ. Wa laulā al-ladzÊ sabaqanÊ ilaihi al-‘abd al-sāliÍ la‘ajiltu da‘watÊ. Inna Allāha –ta‘ālā—lammā farraja ‘an IsÍāqa karba al-dzibÍi qÊla lahË yā IsÍāqa: Sal tu‘Ïihi: Ammā wa Allāhi la’ata‘ajjalannahā qabla naz‘āti al-syaiÏān: “Allāhumma man māta lā yusyriku bÊ Allāhi syai’an qad aÍsana faghfir lahË.”

(Allah ta‘ālā menyuruhku untuk memilih antara: Dia mengampuni setengah dari umatku atau aku memberikan syafa‘atku(untuk mereka), maka aku memilih syafa‘atku dan aku berharap (syafa‘at ini) dapat meliputi seluruh umatku. Jika tidak didahului oleh hamba yang saleh, niscaya aku ingin mempercepat permohonanku. Sesungguhnya Allah ta‘ālā ketika melepaskan kesulitan “penyembelihan” dari IsÍāq, dikatakan kepadanya (IsÍāq): “Mintalah, niscaya engkau akan diberi!” Sungguh (kata IsÍāq), aku menyegerakannya (permohonan) sebelum (datang) kecondongan kepada setan: “Ya Allah, barangsiapa yang mati (dalam keadaan) tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dia telah berbuat suatu kebaikan, maka ampunilah dia).

Namun perlu dicatat, bahwa ‘Abd al-RaÍmān ibn Zaid ibn Aslam adalah Ìa‘Êf (lemah) dan meriwayatkan ×adÊts-ÍadÊts yang munkar (al-munkarāt) dan riwayat-riwayat yang aneh (al-gharā’ib), maka riwayat-riwayatnya tidak bisa dijadikan Íujjah. Dan mengenai hal ini, Ibn KatsÊr berkata:

“×adÊts di atas adalah gharÊbun munkar (aneh dan munkar/harus ditolak), dan aku khawatir di dalamnya terdapat penambahan secara berangsur, yaitu perkataan: “Inna Allāha lammā farraja…”, seandainya itu terpelihara (terjaga), maka sepertinya dia adalah Ismā‘Êl, kemudian mereka men-taÍÊf (mengubah)nya menjadi IsÍāq. Dan khabar-khabar seperti itu: di dalamnya terdapat kabar yang mawqËf dan Ìa‘Êf, dan banyak yang mawÌË‘ (palsu). Dan bila ×adÊts marfË‘ itu benar bahwa yang dikurbankan (disembelih) itu IsÍāq, kita menerimanya dan meletakkannya ‘di atas mata dan kepala’ ( wadha‘nāhu ‘alā al-‘aini war-ra’si), tapi seperti yang aku lihat, tidak satupun yang benar.”

Dan sejatinya, tegas Ibn KatsÊr, riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa “yang disembelih (dikurbankan)” itu IsÍāq adalah dari Isrā’iliyyāt Ahli Kitab dan dinukil dari mereka yang telah masuk Islam, seperti Ka‘b al-AÍbār. Kemudian, riwayat tersebut dibawa oleh sebagian Sahabat dan Tābi‘Ên berdasarkan ÍusnuÐÐānn (prasangka baik) kepada mereka. Lalu mereka berpendapat seperti itu. Setelah mereka, datanglah para ulama yang tertipu dengan riwayat tersebut, lalu mereka menyatakan bahwa yang dikurbankan adalah IsÍāq. Tidak ada satu pun dari buku TafsÊr, SÊrah dan Sejarah yang tidak menyebutkan perbedaan (khilāf) di antara ulama salaf. Hanya saja, diantara mereka ada yang mengkritisinya lewat penjelasan (riwayat) yang benar, dan diantara mereka ada yang tidak mengkritisnya, dan hanya merasa puas dengan itu atau menerimanya.

Alasan kenapa Isrā’Êliyyāt itu dibuat oleh kaum Ahli Kitab, Ibnu KatsÊr menjelaskan karena sikap permusuhan mereka yang begitu mengakar sejak dahulu terhadap seorang nabi dari Arab (Nabi MuÍammad) yang ummi (buta huruf) dan kaumnya dari kalangan Arab. Mereka menginginkan agar Ismā‘Êl, kakek teratas bagi Nabi s.a.w. dan orang Arab, tidak memiliki keutamaan sebagai “kurban”: agar hal itu tidak mengalir kepada Nabi s.a.w. dan bangsa Arab.[9]

Pernyataan di atas dapat dibenarkan. Meskipun dalam PL disebutkan bahwa Ismā‘Êl diberkati, tapi kaum Ahli Kitab tidak mengakui kenabian MuÍammad s.a.w. hanya karena dengki kepada beliau dan umatnya. Satu riwayat yang diceritakan oleh al-BaghawÊ, juga dari RabÊ‘ ibn Anas, al-KalbÊ, dan AbË ‘AmrË ibn al-‘Alā’. Aku menyatakan:

“Dan diriwayatkan dari Mu‘āwiyah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: “Yabna al-dzabÊÍyni (wahai anak dari dua orang kurban).” Lalu Rasul s.a.w. tertawa. Riwayat ini pula dijadikan pegangan oleh ‘Umar ibn ‘Abd al-‘AzÊz dan MuÍammad ibn IsÍāq ibn Yasar. Al-×asan al-BaÎrÊ berkata: “Tidak ada keraguan dalam riwayat ini”! MuÍammad ibn IsÍāq dari Buraydah, dari Sufyān ibn Farwah al-AslamÊ, dari MuÍammad ibn Ka‘b, ia menyatakan bahwa dia menceritakan kepada mereka bahwa hal itu disebutkan kepada ‘Umar ibn ‘Abd al-‘AzÊz, saat itu dia sudah menjadi khalifah dan berada di Syām bersamanya: yakni pengambilan dalilnya (istidlāl) dengan perkataannya setelah ‘iÎmah (keterpeliharaan dari kesalahan/kekeliruan). Fabassyarnāhu bi IsÍāqa wa min warā’i IsÍāqa Ya‘qËba. Kemudian ‘Umar ibn ‘Abd al-‘AzÊz berkata kepadanya: “Sesungguhnya, inilah yang aku perhatikan dengan cermat. Dan aku melihatnya (berpendapat) seperti pendapat engkau.

Kemudian ia diutus kepada seorang laki-laki di Syām. Ia adalah mantan Yahudi, kemudian memeluk Islam dan baik dalam keislamannya, bahkan dia adalah salah seorang dari ulama mereka, ia berkata: ‘Umar ibn ‘Abd al-‘AzÊz kemudian bertanya kepadanya: “Siapakah di antara dua anak Ibrahim yang dikurbankan (disembelih)? Ia menjawab: “Ismā‘Êl, demi Allah wahai AmÊrul Mu’minÊn, orang-orang Yahudi mengetahui hal itu. Namun, mereka dengki kepada kalian, seluruh orang Arab, atas perintah Allah yang diberikan kepada bapak kalian (Ismā‘Êl) dan keutamaan yang diberikan dari-Nya: karena kesabarannya ketika dia diperintahkan (untuk menjadi kurban). Mereka mengingkari itu dan mengklaim bahwa dia adalah IsÍāq, bapak mereka.[10]

Bukti Historis atas Ismā‘Êl

Dalam tulisannya, Moqsith menyatakan bahwa secara kesejarahan pendapat kedua lebih kuat, karena “tanduk domba” yang disembelih menurutnya dibawa dari Kanaan. Benarkah demikian?

Hemat penulis, secara fakta historis, IsÍāq sama sekali tidak pernah pergi ke Mekkah. Pendapat yang menyatakan “mungkin” tanduk itu dibawa dari Kanaan ke Mekkah tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan kesejarahan. Dua “tanduk domba” yang ada di Ka‘bah justru menguatkan bukti bahwa yang jadi kurban itu Ismā‘Êl, bukan IsÍāq. Hal ini secara jelas disebutkan di dalam tafsir Ibn KatsÊr.

Menurut Sufyān, kedua tanduk itu masih ada di Ka‘bah hingga terbakarnya Ka‘bah, lalu keduanya ikut terbakar. Riwayat ini diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās, bahwa kepala “domba’” (kibasy) itu masih tergantung diatas saluran air (mÊzāb) Ka‘bah dalam keadaan kering. Ini merupakan satu bukti bahwa yang menjadi kurban itu adalah Ismā‘Êl, karena dialah yang tinggal di Mekkah. Sementara itu, IsÍāq tidak kita ketahui telah datang ke sana di masa kecilnya. Wallāhu a‘lam.[11]

Lebih tegas, Ibn KatsÊr mengkritik bahwa Kitāb Allāh (Al-Qur’ān) menjadi saksi dan petunjuk bahwa al-dzabÊÍ itu adalah Ismā‘Êl, bukan IsÍāq dengan bukti bahwa: kabar gembira anak yang lemah lembut (al-ghulām al-ÍalÊm). Setelah itu, Allah berfirman ‘wa basysyarnāhu bi IsÍāqa nabiyyan min al-ÎāliÍÊn’ (Kemudian IbrāhÊm dengan (kelahiran) IsÍāq; seorang nabi dari golongan orang-orang saleh).[12] Dan ketika para malaikat member kabar gembira kepada IbrāhÊm, mereka berkata ‘Innā nubasysiruka bi ghulām ‘alÊm’ (Kami member kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) seorang anak yang berilmu).[13]

Beberapa Kritik Penting

Untuk menambah fakta dan data atas kepalsuan klaim Yahudi-Kristen, yang juga dianut oleh Moqsith mengenai al-dzabÊÍ; penulis akan paparkan berikut ini kritik dari ulamā’-ulamā’ Muslim terhadap teks PL yang dianggap benar oleh mereka.[14]

a. Kritik terhadap Teks PL

Berkenaan dengan teks PL tentang IsÍāq sebagai al-dzabÊÍ, perlu kita perhatikan dua hal penting berikut:

1. Dalam teks-teks yang ada dalam Kitab Kejadian menyebutkan bahwa anak yang dikurbankan itu (al-ibn al-dzabÊÍ) merupakan anak tunggal IbrāhÊm, dan ini –kata anak tunggal—diulang sebanyak tiga kali.[15]

2. Kata “IsÍāq” hanya ditambahkan pada ayat pertama saja.[16] Sementara pada Kejadian 22: 12 & 16 tidak ditambahkan lagi. Dalam kedua ayat terakhir (12 & 16) hanya disebut kata “anak tunggalmu” tanpa ditambahi kata “Ishak”.

Yang perlu dipertanyakan sekarang adalah: Apakah sifat di atas sesuai dengan IsÍāq. Dari ayat-ayat itu kita menemukan bahwa IsÍāq dilahirkan setelah Ismā‘Êl, karena Sārah (Bible: Sarai) mandul, tidak melahirkan. Maka Sarai menganjurkan IbrāhÊm untuk menggauli Hājar (Hagar). Dan akhirnya melahirkan Ismā‘Êl. Lalu cemburulah Sārah:

Adapaun Sarai, isteri Abram itu, tidak beranak. Ia mempunyai seorang hamba perempuan, orang Mesir, Hagar namanya. Berkatalah Sarai kepada Abram: Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkian oleh dialah aku dapat memperolah seorang anak.” Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai.” Jadi Sarai, istri Abram itu, mengambil Hagar, hambanya, orang Mesir itu, --yakni ketika Abram telah sepuluh tahun tinggal di tanah Kanaan--, lalu memberikannya kepada Abram, suaminya, untuk menjadi isterinya. Abram menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu. Lalu berkatalah Sarai kepada Abram: “Penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu; akulah yang memberikan hambaku ke pangkuanmu, tetapi baru saja ia tahu, bahwa ia mengandung, ia memandang rendah akan aku; TUHAN kiranya menjadi Hakim antara aku dan engkau.” Kata Abram kepada Sarai: “Hambamu itu di bawah kekuasaanmu; perbuatlah kepadanya apa yang kau pandang baik.” Lalu Sarai menindas Hagar, sehingga ia lari meninggalkannya.”[17]

Dan di akhir pasal Kitab Kejadian, Hājar melahirkan seorang anak. Kemudian IbrāhÊm menamainya Ismā‘Êl. Ketika itu, usia IbrāhÊm 86 tahun.[18] Sementara itu, ketika Sarai melahirkan IsÍāq, usia IbrāhÊm sudah berusia 100 tahun:

“Adapun Abraham berumur seratus tahun, ketika Ishak, anaknya, lahir baginya.”[19]

Maka, menurut perhitungan Taurat Yahudi, usia Ismā‘Êl sudah mencapai 14 tahun ketika IsÍāq lahir. Namun, di tempat yang berbeda, teks Kitab Kejadian menyebutkan bahwa ketika IsÍāq dilahirkan, usia Ismā‘Êl baru mencapai 13 tahun, ketika bapaknya (IbrāhÊm) mengkhitannya. Peristiwa itu terjadi ketika IbrāhÊm mendapat kabar gembira akan kelahiran IsÍāq sebelum ibunya (Sārah) mengandungnya. Ketika itu usia IbrāhÊm baru mencapai 99 tahun.[20]

Berdasarkan hal di atas, maka kata anak tunggalmu tidak tepat dinisbatkan kepada IsÍāq, kecuali jika Ismā‘Êl mati di masa hidupnya IbrāhÊm. Namun Kitab Kejadian malah menyebutkan sebaliknya: Ismā‘Êl hidup ketika IsÍāq disapih (untuk tidak menyusu lagi).[21]Bahkan, Ismā‘Êl hidup hingga sampai menguburkan IbrāhÊm bersama adiknya, IsÍāq.[22]

Maka, kata anak tunggalmu hanya sesuai untuk Ismā‘Êl selama 14 tahun sebelum IsÍāq dilahirkan. Artinya, kisah pengorbanan (al-dzibÍ) berbagai peristiwanya terjadi di masa tersebut. Dan ‘aktor utamanya’ adalah Ismā‘Êl, bukan IsÍāq. Selain itu, sifat anak tunggalmu tidak cocok untuk IsÍāq, dari sudut mana pun. Dan kata “IsÍāq” itu sendiri tidak tepat dengan sifat anak tunggalmu tersebut. Jika dipaksakan, itu namanya ‘pemerkosaan’ terhadap ayat kitab suci. Maka, di sana ada kontradiksi tentang “sang kurban” (al-ibn al-dzabÊÍ) antara anak tunggal IbrāhÊm dan IsÍāq. Buktinya adalah: ayat-ayat Taurat yang disebutkan sebelumnya menyebutkan tentang “sang kurban” (al-dzabÊÍ) dan menyifatinya dengan anak tunggalmu, tanpa diikuti dengan kata “IsÍāq” seperti yang disinggung sebelumnya.[23]

Setelah melihat adanya kejanggalan dalam teks-teks Kitab Kejadian yang disebutkan dan diulas sebelumnya, LakhÌir Syāyib menyimpulkan beberapa poin penting:

1. Terdapat taÍrÊf (korupsi) di dalam teks-teks PL (al-‘Ahd al-QadÊm) dengan cara menghapus nama Ismā‘Êl, kemudian digantikan dengan nama IsÍāq.

2. Jika Ismā‘Êl yang dianggap sebagai al-dzabÊÍ sangat tepat sekali dengan apa yang disebutkan oleh teks-teks Kitab Kejadian.

b. Kritik Ulamā’ Muslim

Beberapa ulama Muslim tidak ketinggalan untuk mengkritik teks-teks Kitab Kejadian yang berbicara secara khusus tentang al-dzabÊÍ.

TahrÊf (Corruption) Teks PL

Jika kita teliti secara kritis redaksi dari teks PL (Kejadian 22: 2), maka di sana akan tampak dengan jelas adanya taÍrÊf (corruption). Di sini kita coba untuk mengutipnya kembali, agar tampak jelas.

“Bawalah anakmu yang tunggal yang engkau cintai itu: Ishak, danpergilah ke tanah Moria. Maka naiklah ke sebuah gunungyang akan Aku tunjukkan kepadamu, dan persembahkanlahanakmu sebagai kurban bakaran untuk-Ku.”

Kata “tunggal” (teks Arab: waÍÊdaka) sudah jelas menunjuk kepada Ismā‘Êl, bukan IsÍāq. Jarak usia Isma‘il dengan Ishaq (ketika dia dilahirkan) adalah 14 tahun. Ini merupakan jarak yang sangat jauh sekali. Bagaimana mungkin dikatakan Ishaq sebagai “anak tunggal” Ibrahim, sementara ketika itu yang ada hanyaIsma‘il. Dalam Al-Qur’an, surat ash-Shaffât, teks ini secara gamblang dijelaskan, falammâ balagha ma‘ahuas-sa‘ya. Usia baligh: sudah dapat berusaha untuk membantu Ibrahim. Ini merupakan bukti yang sangat kuat bahwa itu Isma‘il. Hal ini dikuatkan oleh PL sendiri, bahwa Isma‘il hidup sampai Ibrahim wafat. KarenaIsma‘il sempat menghadiri wafatnya Ibrahim dan penguburannya. “Abram meninggal pada usia yang lanjut, yaitu 175 tahun. Ia dikuburkan oleh anak-anaknya, yaitu Ishak dan Ismael, di Gua Makhpela yang terletak di ladang sebelah timur Mamre…” (Kejadian 25: 7-9). Lalu kenapa diletakkan di dalam teks tentang kurban itu nama “Ishaq”? Ini sudah jelas tahrîf yang disengaja oleh Ahli Kitab. Secara tidak sadar, mereka ingin “mencuri” teks itu agar disematkan ke leherIshaq. Tapi merupakan fakta yang sukar untuk ditolak, bahwa pencuri selalu meninggalkan jejak untuk dilacak oleh “polisi”. Mereka tidak sadar telah meninggalkan kata “anak tunggal” tetap ada di dalam PL itu. Secara logika, Ishaq baru sah dikatakan sebagai “anak tunggal” jika: Pertama, dia anak pertama dilahirkan. Kedua, Isma‘il telah meninggal. Tapi kedua-duanya tidak dimiliki olehnya. Fa‘tabirû yâ uli’-l-Albâb! Wallahu a‘lamu bias-shawâb. []. (Cairo, 20 Januari 2006)


[1] Kitab Kejadian 22: 2.

[2] Qs. al-Øāffāt [37]: 99-107.

[3] Qs. al-Øāffāt [37]: 108-113.

[4] Kitab Kejadian 16: 3. Masalah Hagar dan Sarai dan anak mereka masing-masing telah menimbulkan diskusi dan debat berkepanjangan antara Islam dan Kristen. Penulis sendiri punya pengalaman menarik mengenai hal ini, karena pernah terlibat debat panjang mengenai Ismā‘il (Ismael) dan Ishāq (Ishak). Silahkan dilihat di appendiks buku ini. Semoga diskusi dan debatnya dapat bermanfaat bagi para pembaca.

[5] Kitab Kejadian 16: 15.

[6] Kitab Kejadian 21: 5.

[7] Dr. MuÍammad ibn MuÍammad AbË Syuhbah, al-Isrā’iliyyāt wa al-MawÌË‘āt fÊ Kutub al-TafsÊr, (Cairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), 253.

[8] Ibn KatsÊr, ‘Imād al-DÊn AbË al-Fidā’ Ismā‘Êl (w. 774 H), al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Cairo: Dār al-Taqwā, 1999), 1: 195-196.

[9] AbË Syuhbah, op.cit., 253-254. Diskusi tentang tema Isrā’Êliyyāt dalam buku-buku TafsÊr dapat disimak dalam beberapa karya ulamā’ Muslim kontemporer, seperti: (1) Dr. RamzÊ Na‘nā‘ah, al-Isrā’Êliyyāt wa Atsaruhā fÊ Kutub al-TafsÊr, (Damascus/Beirut: Dār al-Qalam/Dār al-BayÌā’, 1390 H/1980 M) dan (2) Dr. MuÍammad ×usain al-DzahabÊ, al-Isrā’Êliyyāt fÊ al-TafsÊr wa al-×adÊts, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1998).

[10] Ibn KatsÊr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, op.cit., hlm. 196. Lihat juga, Ibn KatsÊr, TafsÊr al-Qur’ān al-‘AÐÊm, taÍqÊq: MuÎÏafā al-Sayyid MuÍammad, MuÍammad FaÌl al-‘AjamāwÊ, MuÍammad al-Sayyid Rasyād, ‘AlÊ AÍmad ‘Abd al-BāqÊ, dan ×asan ‘Abbās QuÏb, (GÊzah-Mesir: Mu’assasah QarÏabah & Maktabah Awlād al-Syaikh li al-Turāts, 1421 H/2000 M), 12: 37.

[11] Ibid., hlm. 194.

[12] Qs. al-Øāffāt [37]: 112.

[13] Qs. al-×ijr [15]: 53. Kata ghulā ‘alÊm juga diulang dalam Qs. al-Dzāriyāt [37]: 28. Keduanya menunjuk kepada IsÍāq. Kisah ini juga disebutkan di dalam Qs. HËd [11]: 71.

[14] Kritik mereka ini berkenaan dengan beberapa teks Perjanjian Lama (Kejadian 21: 6, 11: 15-22, 17: 1, 19, 18: 1-15, dan 21: 1-5). Beberpa teks Perjanjian Baru yang kerap dijadikan dalil tentang IsÍāq sebagai al-dzabÊÍ adalah: Surat Yakobus: 2: 20-23 dan Surat Paulus kepada orang Ibrani 11: 17-19.

[15] Kitab Kejadian 22: 2, “…ambillah anakmu yang tunggal itu…”, “…dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” (Kejadian 22: 12), “…dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” (Kejadian 22: 16).

[16] Lengkapnya demikian, “Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kejadian 22: 2).

[17] Kejadian 16: 1-6. Buku yang mengulas lengkap tentang Hājar (Bible: Hagar) adalah karya ‘Abd al-MajÊd HammË, Hājar bayna al-×urriyyah wa al-‘UbËdiyyah, (Damascus: Dār Mu‘id li al-Nasyr wa al-TawzÊ‘, 1993).

[18] “Lalu Hagar melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abram dan Abram menamai anak yang dilahirkan Hagar itu Ismael. Abram berumur delapan puluh enam tahun, ketika Hagar melahirkan Ismael baginya.” (Kejadian 16: 15-16).

[19] Kejadian 21: 5.

[20] Kejadian 17: 24-25.

[21] Kejadian 21: 9.

[22] Kejadian 25: 9.

[23] Dr. FatÍÊ MuÍammad al-ZughbÊ, QiÎÎat al-DzabÊÍ, (ÙanÏā-Mesir: Dār al-BasyÊr li al-Tsaqāfah wa al-‘UlËm, 1994), 35-38.