Rabu, 11 November 2009

Pertanyaan Bodoh, Jiwa, dan Menulis

Mari kita berbicara tentang sebuah pertanyaan bodoh, jiwa, dan menulis. Ah, aku mulai melihat seraut tampang bingung dari reaksi wajahmu kawan. Agar tak semakin melinglung, mari kita memulai saja.

Kita memulainya dari sebuah pertanyaan bodoh saja. Bayangkan, misalnya begini, saat ini, kau datangi si Tiger Woods, dan katakan kepadanya begini, “Hai Tiger, kamu ini kan sudah kaya, terkenal, dan banyak prestasi kejuaraan yang sudah kau dapat, lalu, mengapa kau tak berhenti saja bermain golf, dan memberikan kesempatan kepada pegolf lainnya untuk menjuarai kejuaraan dan menjadi legenda sepertimu dirimu?” Atau, kau datangi Valentino Rossi, dan katakan hal ini jua kepadanya, “Hai Rossi, kau sudah berkali-kali menang, jadi miliarder, dan jua terkenal, mengapa tak kau hentikan saja balapan, bukankah kau sudah pernah menjadi juara dunia, dan bahkan kini kau pun sudah menjadi legenda, lalu, apalagi yang hendak kau cari?”

Kira-kira, apa yang akan mereka berdua katakan kepadamu kawan? Pilihlah beberapa opsi berikut ini:

- Baiklah, kau benar kawan, saranmu akan kulaksanakan, aku akan menikmati kekayaanku sekarang ini, dan rumahku yang megah itu, berkeliling dunia setiap hari, dan menghabiskan waktu berhari-hari berlayar di Miami.

- Ha? Kau bercanda? Aku sudah berpeluh lelah menuju kondisi seperti ini, tak mungkin aku berhenti, aku ingin membuktikan kepada dunia, bahwa aku yang terhebat!

Oke kawan, opsinya hanya dua. Dan kau harus memilih, kira-kira mereka memilih jawaban yang mana? Sepertinya, mereka berdua takkan memilih satu pun di antara dua opsi itu. Benarkah? Yah, karena bagi mereka, itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah mereka dengar.

Oke, engkau sudah melewati tahap pertama dalam pembahasan kita. Yaitu tentang sebuah pertanyaan bodoh. Mari kita berbicara tentang tahapan kedua, yaitu tentang jiwa.

Bagi Tiger, golf adalah nafasnya. Jika engkau menyuruhnya berhenti bergolf ‘hanya’ karena ia sudah kaya dan terkenal serta melegenda, wuih, itu sama saja dengan menyuruhnya berhenti bernafas. Apa artinya? Artinya, engkau sama saja menyuruh dia memilih, lebih bak mati daripada berhenti bermain golf. Bagi Tiger, golf adalah jiwanya. Ia bergolf dengan segenap hatinya, dari jiwanya. Lalu, jika kau menyuruhnya berhenti, jiwanya akan mati. Ia bergolf sedari kecil. Berlatih lebih banyak. Memukul lebih sering. Memahami medan lebih rajin. Kenapa? Karena itu adalah jiwanya. Karena itu adalah dunianya. Ia yang telah menemukan di mana dunianya, ia akan menikmatnya. Dan hal yang sama, terjadi juga pada si Rossi. Lalu, apakah mereka ingin menjadi yang terhebat? Ah, sepertinya bukan. Bukankah rahasia keahlian seseorang terletak kepada seberapa sering dan rajin ia mengulang-ulang? Lalu, jikalau mereka menjadi yang terhebat, itu bukan karena mereka ingin, tapi karena sebutan orang-orang, karena memang belum ada yang seahli mereka, maka, merekalah kemudian menjadi yang terhebat. Sekali lagi, mereka melakukannya karena itu adalah jiwanya. Dan kehebatan, hanyalah bonus dari kecintaan mereka akan dunianya.

Oke, sepertinya engkau sudah mulai menangkap arah perbincangan kita kali ini berkenaan tentang jiwa. Maka, saatnya berbicara tentang hal ketiga. Yaitu tentang menulis.

Sebelumnya, mari kita analogikan kesemua pertanyaan bodoh itu kepada para penulis negeri ini. Mari kita suruh berhenti menulis saja kepada Kang Abik, Helvy Tiana Rossa, Asma Nadia, Gola Gong, Ali Muakhir, Afifah Afra, Izzatul Jannah, Remy Silado, Langit Kresna Hariadi, Tasaro, dan lain-lainnya. Mari kita bersama-sama, mengadakan demonstrasi besar-besaran di Senayan, dan meminta dengan sangat, agar mereka berhenti menulis, dan memberikan kesempatan kepada generasi penulis muda selanjutnya untuk berkarya. Bukankah mereka semua telah menjadi legenda tersendiri dalam dunia kepenulisan indonesia? Kira-kira, apa jawaban mereka?

Mari berjalan di sejarah kehidupan pribadiku sebentar. Sebentar saja. Kang Abik, pernah menjadi dosen saya di ketika saya masih belajar di Ma’had. Sepertinya, murid-murid di ma’had itu, satu-satunya yang mengetahui bahwa beliau adalah seorang penulis adalah saya, karena saya sering membaca An-Nida. Beliau berkarakter sangat-sangat santun. Bahkan, kalau mengajar pun menggunakan bahasa yang lembut dan terkesan nyastra. Setelah novel Ayat-ayat Cinta meledak, dan difilmkan, beliau menjadi perbincangan di mana-mana. Dan, beliau pun masih sama karakternya. Tak ada beda karakter. Yang ada, hanya pada aktivitasnya. Dulu, beliau sangat sibuk. Sekarang, jadi super sibuk. Lalu, kita berbicara tentang apa? Tentang bagaimana beliau menganggap sebuah keberhasilan ‘hanya’ sebagai bonus saja. Beliau menulis dengan hati sejak masih belum dianggap siapa-siapa, sampai dianggap siapa-siapa. Semua berawal dari hati. Semua bermula dari jiwa.

Maka, jika kita menyuruh mereka berhenti menulis, maka, itu sama saja dengan mematikan jiwa mereka. Bukankah begitu? Maka, kuharap engkau mengurungkan niat untuk berdemonstrasi besar-besaran di Senayan itu.

Lalu, kita belajar apa dari perbincangan kita kali ini? Kita berbicara tentang aktivitas yang bermula dari jiwa. Jika kau sudah menemukannya dalam dirimu, apa itu jiwamu, apa itu aktivitas yang ketika engkau melakukannya kau serasa ‘mati’ jika tak melakukannya barang sehari saja, maka, kau telah menemukannya. Begitu cara gampang menemukannya. Maka, walaupun engkau telah tua, walaupun engkau telah dimakan usia, engkau tetap melakukannya. Karena itu adalah jiwamu, karena itu adalah duniamu.

Maka, saya sering berpendapat seperti ini, bahwa, menulis itu, butuh jiwa dalam melakukannya. Kenapa? Jika tidak begitu, tulisan tak akan mempunyai ruah, dan muatan pikiran yang kuat. Berpeluh lelah dengan teori, bersimbah keringat dengan pemilihan diksi, tapi jika kau melakukannya hanya untuk meraih materi yang melimpah dan meruah, hanya untuk meraih kemasyhuran, o la la... semua takkan bertahan lama. Seiring waktu, peningkatan kualitas takkan kau dapatkan. Seiring hari, kualitas tulisan pun takkan kau peroleh. Karena ini semua bermula dari hal terdasar. Dan kita menyebutkan dengan: jiwa. Jika jiwa saja tak kau punya, kau hendak berbagi kepada dunia dengan apa?

Semoga tulisan singkat ini menginspirasi. Aku masih punya beberapa hal yang harus kubagi denganmu. Kita berjumpa di lain waktu. Jadi, tulisan ini, statusnya bersambung. Ditunggu yah kelanjutan sambungannya...

------------------------

Fachmy Casofa. 4 Juni 85. Sekarang tengah menikmati dunianya sebagai seorang penulis, editor, copywriter, dan graphic designer. Alhamdulillah sudah bisa membagi pemikirannya dalam tiga buku. Bisa di hubungi di 085229282182, fachmy_85@yahoo.co.id, atau di blognya, www.writhink.wordpress.com.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

wach bravo untuk kirimannya ya akh,terkhusus bagi kite-kite nich yang pemula ,memang betul tuch menulis harus dengan penjiwaan,ibarat masakan tanpa bumbu,pasti ambar rasanya,ane tunggu tulisan selanjutnye akh,mudah mudahan menjadi bara pemacu semangat untuk trus berkarya,oh ya akh..jangan lupa kunjungin blog ane juga yech,soalnye ane butuh koreksi dan saran nich dalam tulisan-tulisan ane...la tansa yoo..!!!

Anonim mengatakan...

Memang benar apa yang disampaikan sampeyan dalam tulisan ini, mungkin yang memang jadi permasalah dari dulu adalah bagaimana cara memulainya..dan meng'istiqamah'kannya itu yang sangat sulit.. mungkin mas bisa memberikan kiat-kiat khusus..

Posting Komentar